Revitalisasi Peran kaum Muda

Selasa, 01 Februari 2011

REVOLUSI MESIR


Korban terus berjatuhan seiring meluasnya demonstrasi antipemerintah di kota-kota utama di Mesir, Sabtu (29/1/2011). Sedikitnya 48 orang dilaporkan tewas dalam bentrokan antara demonstran dan polisi sejak aksi pecah, Selasa.

Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Massa yang marah mengeroyok tiga polisi hingga tewas di kota Rafah, dekat Sinai. Di Kairo, polisi—yang dibenci masyarakat karena tindak represif terhadap rakyat selama ini—ditarik dari jalanan dan digantikan tentara Mesir.

Jumlah korban dikhawatirkan akan terus bertambah seiring semakin beringasnya massa. Stasiun televisi Al-Jazeera melaporkan, polisi melepaskan tembakan ke arah massa yang berusaha menyerbu Gedung Kementerian Dalam Negeri di Kairo, Sabtu siang.

Penjarahan merajalela setelah sekitar 60 persen kantor polisi di Mesir dibakar massa. Bentrokan juga terjadi di kota pelabuhan utama Ismailiya, sebelah timur laut Kairo. Sementara massa di Alexandria menginap di masjid di tengah kota dan bersiap beraksi lagi.

Di Kairo, puluhan ribu warga menyerukan Presiden Mesir Hosni Mubarak segera mundur dan pergi dari Mesir. ”Kami datang ke sini untuk menyerukan, ’Kami tidak menginginkan kamu sama sekali, kami ingin kau keluar dari negara ini!’” seru pengacara Mohammed Osama (25), yang turut dalam aksi di Lapangan Tahrir, Kairo.

Massa mengacuhkan langkah pembubaran kabinet dan janji reformasi, yang diumumkan Mubarak melalui televisi nasional, Sabtu selepas tengah malam. Mubarak berjanji segera membentuk pemerintahan baru, tetapi menegaskan tak akan mundur dari kursi presiden yang sudah ia duduki 30 tahun.

Rakyat Mesir menunggu-nunggu apakah Mubarak akan menunjuk kembali Menteri Dalam Negeri Habib Al-Adly, pejabat yang membawahkan kepolisian dan orang paling dibenci rakyat Mesir. Meski demikian, sebagian besar rakyat menganggap pernyataan dan janji Mubarak sudah terlambat dan menuntut presiden berusia 82 tahun itu segera lengser.

”Presiden Mubarak tidak memahami pesan yang disampaikan rakyat Mesir. Pidatonya sangat mengecewakan. Protes akan terus berlanjut sampai rezim Mubarak tumbang,” kata pemimpin oposisi Mesir, Mohamed ElBaradei, kepada stasiun televisi France24.
ElBaradei mengaku siap memimpin pemerintahan transisi jika diminta dan akan ikut aksi demonstrasi untuk memaksa Mubarak turun.
Kelompok oposisi yang dilarang pemerintah, Persaudaraan Muslim (Moslem Brotherhood), Sabtu, menyerukan agar transisi kekuasaan berjalan secara damai dengan pembentukan kabinet peralihan. Sebanyak 50 tokoh pemimpin Persaudaraan Muslim termasuk dalam 350 orang yang ditangkap aparat pemerintah Mesir, Jumat.
Hari Sabtu, sebagian jaringan telepon seluler mulai aktif kembali, tetapi jaringan internet masih diputus pemerintah.

Reaksi dunia

Presiden AS Barack Obama mendesak pihak berwenang di Mesir tidak melanjutkan menggunakan kekerasan untuk menghadapi para demonstran. Pesan Obama itu disampaikan saat ia menelepon Mubarak secara pribadi selama 30 menit.
Obama mendesak Mubarak mengambil langkah konkret menuju reformasi politik di Mesir dan agar Mubarak mengubah ”momen kegentingan” menjadi ”momen pengharapan”. Washington juga mengancam akan meninjau ulang bantuan bernilai miliaran dollar AS yang selama ini diberikan kepada Mesir apabila aparat keamanan negara itu bertindak kelewat batas terhadap para demonstran.
Mesir adalah salah satu sekutu utama AS di Timur Tengah dan salah satu penerima bantuan AS terbesar di dunia. Setiap tahun, AS menyuplai bantuan 1,3 miliar dollar AS khusus di sektor pertahanan saja.

Senator John Kerry, Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, di sela-sela pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, juga menyatakan, Presiden Mubarak harus mengambil langkah yang akan dianggap berarti bagi rakyat Mesir. ”Membubarkan pemerintahan saja tidak bermakna apa pun. Menurut saya, dia harus berbicara mengenai berbagai masalah yang benar-benar dirasakan rakyat,” tutur Kerry.

Pernyataan senada disampaikan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, Sabtu. Ia mendesak Mubarak menaruh perhatian serius terhadap tuntutan rakyat Mesir. Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron, yang juga sedang menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos, mengatakan, Mesir membutuhkan reformasi.

”Dia harus memanfaatkan momen ini untuk membuat reformasi yang nyata, dan mendasarkan reformasi itu pada nilai-nilai universal yang menjadi hak setiap warga negara di dunia ini,” ujar Hague.

Meski demikian, tak semua pemimpin dunia mendukung pengunduran diri Mubarak. Raja Abdullah dari Arab Saudi mendukung Presiden Mubarak dan menyayangkan pihak-pihak yang telah mengganggu stabilitas dan keamanan Mesir. Sabtu pagi, Raja Abdullah menelepon Mubarak dari Maroko, tempat ia baru saja menjalani operasi tulang belakang.

Menurut kantor berita SPA, Raja Abdullah mengecam para pengacau yang telah mengganggu keamanan dan stabilitas Mesir dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi.

Israel, yang berbatasan langsung dengan Mesir dan menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Mubarak selama ini, juga khawatir apabila terjadi perubahan rezim di Mesir karena itu berarti Israel akan kehilangan satu ”teman” lagi di Timur Tengah dan harus memikirkan strategi baru serta bernegosiasi ulang dengan penguasa Mesir yang baru.



Aksi massal ini berlangsung setelah kalangan aktivis menyerukan ”satu hari revolusi” melalui pesan yang disebarkan di internet. Barisan polisi anti kerusuhan menghadapi dan berusaha membubarkan massa pengunjuk rasa di Kairo dengan gas air mata.
Beberapa pekan kerusuhan di negara tetangga Mesir, Tunisia, akhirnya menumbangkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali awal bulan ini. Demonstrasi jarang terjadi di Mesir, mengingat pemerintah Presiden Hosni Mubarak yang berkuasa sejak 1981 tidak menenggang perbedaan pandangan.
Aksi-aksi politik di Kairo dikoordinasikan aktivis lewat laman di situs jejaring sosial Facebook. Puluhan ribu pendukung mengklik laman tersebut untuk menyatakan mereka akan ikut serta.

"Saya datang kemari dengan kesediaan untuk mati, saya tidak takut apa-apa.
Tareq el-Shabasi "
Wartawan BBC Jon Leyne di Kairo mengatakan rapat umum digelar di beberapa tempat di Kairo, dan jumlah warga yang ikut lebih banyak dari yang diharapkan penggerak aksi. Konfrontasi yang diwarnai bentrokan terjadi di beberapa tempat, katanya. Di depan gedung parlemen, barisan polisi yang dibekali perisai, gas pemedih mata dan meriam air bentrok dengan massa demonstran yang melemparkan batu.
‘Tidak takut’
Kantor berita AP melaporkan di Lapangan Tahrir di tengah Kairo, demonstran menyerang meriam air polisi, membobol pintu pengemudi dan menggelandang keluar petugas dari kendaraan lapis baja tersebut.
Polisi menghalau mundur massa demonstran dengan pentungan setelah sebagian pengunjukrasa mencoba menerobos barikade polisi agar bisa mencapai tempat demonstrasi utama, lapor AP. Salah seorang demonstran, Tareq el-Shabasi, 43 tahun, mengatakan kepada AP: “Saya datang kemari dengan kesediaan untuk mati, saya tidak takut apa-apa.”
'Demonstran di MEsir.
Pengunjuk rasa di Kairo terlibat bentrok dengan aparat keamanan. Kantor berita AFP melaporkan demonstran berkumpul di luar Gedung Mahkamah Agung, dan membentang berbagai plakat bertuliskan ‘Tunisia adalah solusinya.”
Mereka kemudian menerobos barikade polisi dan mulai berarak di jalan-jalan kota sambil berpekik: ”Ambruklah Mubarak.” Kantor berita Reuters melaporkan bahwa sebagian meneriakkan yel-yel yang ditujukan ke putra Presiden Mubarak, Gamal, orang yang diyakini kalangan analis politik sedang diperisapkan menggantikan ayahnya di kursi presiden.
”Gamal beritahu ayahmu bangsa Mesir benci kamu,” teriak massa. Penggerak demonstrasi menggalang aksi dengan harapan protes akan tertuju ke penyiksaan, kemiskinan, korupsi dan pengangguran. Mereka menyebut aksi massal hari Selasa ”awal dari akhir”.
”Ini akhir kebungkaman, kebisuan, kepasrahan atas perkembangan di negara kami,” kata mereka dalam komentar yang disiarkan kantor berita Reuters. ”Ini akan menjadi awal babak baru dalam sejarah Mesir -beraksi dan menuntut hak kami,” tambah mereka. Mesir menghadapi masalah sosial dan politik yang mirip dengan kondisi yang memicu keresahan sosial di Tunisia, seperti kenaikan harga bahan pangan, pengangguran, dan kemarahan atas praktik korupsi oleh pejabat.
Namun massa kubu oposisi politik Mesir terpecah menjadi dua. Mereka harus memilih protes yang digerakkan oleh salah seorang tokoh Mesir, Mohamed ElBaradei -mantan bos badan atom PBB, IAEA- atau memperkuat barisan demonstrasi gerakan berpengaruh berhaluan Islam, Ikhwanul Muslimin.


KAIRO – Kepolisian Mesir menembakkan gas air mata dan peluru karet serta memukuli para demonstran dan mengusir mereka dari alun-alun Kairo Rabu waktu setempat. Demonstrasi besar-besaran ini menentang peraturan otoriter yang dikeluarkan oleh presiden Mesir Husni Mubarak.
Dua orang demonstran dan seorang petugas polisi terbunuh dalam demonstrasi yang digelar di hampir penjuru negeri yang terinspirasi dari pemberontakan yang terjadi di Tunisia, yang juga meminta solusi bagi kemiskinan dan juga mengenai kenaikan harga bahan bakar pada saat pemilihan presiden tahun ini.

Gerakan yang dimulai melalui internet ini mengundang ribuan orang berbondong-bondong mendatangi alun-alun Kemerdekaan di Kairo pada Selasa kemarin, beberapa demonstran melemparkan batu dan juga menaiki kendaraan polisi.
“Turunkan Husni Mubarak, turunkan tirani,” teriak kerumunan. “Kami tidak menginginkanmu!” mereka berteriak pada saat ribuan polisi diturunkan untuk mengamankan para demonstran.

Pada saat malam tiba, ribuan demonstran masih juga belum membubarkan diri, mereka masih berada di alun-alun tersebut yang hanya berjarak beberapa meter dengan gedung parlemen dan gedung pemerintahan lainnya. Para demonstran memblokir jalan dan membuat suasana semakin tegang.
Sekelompok pasukan keamanan pun dikerahkan pada pukul satu malam, menangkap orang-orang yang tidak mau membubarkan diri, mengejar mereka dan menembakkan gas air mata. Para demonstran pun berjatuhan karena kesulitan bernapas di tengah kepulan gas air mata.

Suara tembakan senapan otomatis pun terdengar ketika polisi mengejar ratusan orang yang berlari menuju sepanjang sungai Nil. Sekira 20 petugas secara brutal memukuli seorang demonstran dengan menggunakan tongkat.
Ketidak puasan dengan otoritas kepolisian negara Mesir telah menjadi momok selama bertahun-tahun di negara tersebut. Akan tetapi, pemberontakan di Tunisia lah yang membuat para pemuda turun ke jalan

“Ini adalah untuk pertama kalinya saya turun protes, tapi kami merupakan negara yang penakut. Kini akhirnya bisa mengatakan tidak,” ujar Ismail Syed, seorang petugas hotel yang bertahan hidup dengan penghasilan Rp452 ribu per bulan.
“Kami ingin melihat perubahan, seperti halnya Tunisia,” ujar Lamia Rayan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar